Banyak praktisi hukum di Halmahera Selatan salah jalur laporkan wartawan, lebih aneh wartawan lapor wartawan.


Pakar Jurnalis: Ini Antara Tidak Paham atau Memang Sengaja

Labuha, JurnalHalsel.com - Fenomena ganjil mewarnai dunia hukum dan pers di Halmahera Selatan sejak awal 2025 hingga Agustus ini. Sejumlah praktisi hukum tercatat melaporkan beberapa wartawan langsung ke pihak kepolisian terkait pemberitaan, mengabaikan prosedur resmi melalui Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers.

Praktik ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah para kuasa hukum tersebut memang tidak memahami mekanisme penyelesaian sengketa pers, atau sekadar memilih jalur yang lebih menekan pihak wartawan?

Pakar jurnalis sekaligus jurnalis senior, Idham Ali, waktu di temuai di ruang kerjanya di Ternate, menilai ada beberapa kemungkinan mengapa kuasa hukum di Halsel tidak melapor ke Dewan Pers terlebih dahulu.

Bisa jadi karena ketidaktahuan atau ketidakpahaman prosedur sengketa pers. Tapi ada juga yang mungkin sengaja menghindari Dewan Pers, ujarnya.

Idham menjabarkan empat kemungkinan penyebabnya:

1.      Kurang Memahami UU Pers
Banyak pengacara lebih menguasai KUHP atau UU ITE dibanding UU No. 40/1999 tentang Pers. Akibatnya, sengketa pers disangka cukup dilaporkan ke polisi tanpa melalui Dewan Pers.

2.      Sengaja Memilih Jalur Pidana
Ada pihak yang menganggap jalur pidana bisa memberi efek jera atau tekanan psikologis pada wartawan. Proses di kepolisian dinilai lebih menakutkan dibanding sidang etik di Dewan Pers.

3.      Menganggap Bukan Sengketa Pers
Jika berita dianggap mengandung fitnah personal, penghinaan, atau pemerasan di luar aktivitas jurnalistik, kuasa hukum merasa itu adalah ranah pidana umum.

4.      Tidak Percaya Dewan Pers
Ada anggapan bahwa Dewan Pers cenderung membela media, sehingga mereka lebih memilih aparat penegak hukum.

Namun, yang lebih mengejutkan, kata Idham, adalah adanya wartawan yang justru melaporkan sesama wartawan ke polisi.



Ini lebih aneh lagi. Kalau ini jelas-jelas tidak paham dunia jurnalis. Banyak yang jadi wartawan hanya karena proyek, bukan karena dedikasi atau paham kode etik,” tegasnya.

Menyoroti dua masalah besar: lemahnya pemahaman hukum di kalangan praktisi hukum terhadap mekanisme sengketa pers, dan rapuhnya profesionalisme sebagian pekerja media di daerah. Jika dibiarkan, praktik salah jalur ini berpotensi menggerus kemerdekaan pers dan kepercayaan publik terhadap media, dimana lebel wartawan abal-abal tersamatkan kepada wartawan yang melaporkan wartawan ke kepolisian.