Diduga Jual Nama Bupati, “Sembilan Naga” Dapat Fasilitas Gratis di Cafe Bungalow 2 dan 3, Satpol PP Ikut Terseret Suap.

Halmahera Selatan, JurnalHalsel.com - Polemik keberadaan tempat hiburan malam (THM) di Halmahera Selatan kembali mencuat. Meski Bupati Halmahera Selatan Hasan Ali Bassam Kasuba sudah menginstruksikan penutupan permanen sejumlah kafe bermasalah, fakta di lapangan justru menunjukkan dua kafe populer, Bungalow 2 dan 3, masih beroperasi secara diam-diam.

Kedua kafe tersebut dikelola oleh pengusaha lokal Tiong San Ongki alias Tongsan. Informasi yang dihimpun menyebutkan sejak awal berdirinya, Bungalow 2 dan 3 tidak pernah mengantongi dokumen resmi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) maupun izin usaha dari Disperindag. Secara hukum, status kafe tersebut jelas ilegal.

Ironisnya, meski tanpa izin dan berada di atas lahan yang masuk Rencana Tata Lahan Hijau (RTLH)—kawasan resapan air yang semestinya steril dari pembangunan—kafe ini tetap melenggang. Aktivitas hiburan malam di lokasi itu bahkan terus berjalan meski ada perintah penutupan dari Bupati. Kondisi ini memunculkan dugaan adanya pembiaran dari aparat terkait.

Seorang tokoh masyarakat Bacan yang enggan disebutkan namanya menegaskan, persoalan ini bukan sekadar soal izin. “Ini juga pelanggaran tata ruang wilayah. Kawasan hijau yang seharusnya steril dari aktivitas komersial justru dipakai untuk kegiatan hiburan malam. Ini jelas mencederai aturan yang berlaku,” ujarnya.

Lebih jauh, rumor lain ikut menambah runyam persoalan. Sejumlah wartawan lokal yang dijuluki “Sembilan Naga” diduga kerap menggunakan nama Bupati untuk menekan pemilik kafe. Sebagai imbalan, mereka mendapatkan fasilitas room gratis di Bungalow 2 dan 3. Praktik tersebut dinilai merusak marwah profesi jurnalis dan mengaburkan persoalan sebenarnya.

Tak berhenti di situ, kabar suap juga menyeret pejabat daerah. Kabid Penegakan Perda Satpol PP Halmahera Selatan, Irvan Zam-Zam, disebut-sebut menerima uang tutup mulut dari pemilik kafe. Uang tersebut diduga sebagai kompensasi agar Satpol PP tidak menindak pelanggaran Bungalow 2 dan 3, meski lembaga ini memiliki kewenangan penuh mengeksekusi instruksi Bupati.

Kasus ini kini menjadi sorotan publik. Aktivis dan masyarakat menilai, jika dugaan suap dan praktik jual nama benar adanya, maka persoalan THM bukan hanya masalah perizinan, melainkan sudah masuk ranah penyalahgunaan kewenangan, praktik mafia hiburan malam, serta degradasi moral aparat.

“Kalau dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk. Bupati harus tegas, jangan sampai namanya terus dipakai sebagai tameng. Penegakan hukum jangan hanya di atas kertas,” tegas seorang pemerhati kebijakan lokal di Bacan.

IKI