Labuha, JurnalHalsel - Di balik panggung kekuasaan Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan, tersimpan cerita kelam yang mulai terkuak ke permukaan. Sosok-sosok tak resmi namun berpengaruh besar di balik kebijakan pemerintahan mulai menjadi buah bibir masyarakat. Mereka dijuluki "Sembilan Naga", bukan karena mitos, tapi karena peran mereka yang disebut-sebut sebagai biang kerok dari kerusakan tatanan birokrasi di daerah ini.
Belakangan, tujuh dari sembilan sosok ini tertangkap kamera publik saat menghadiri beberapa agenda penting pemerintahan. Dalam video dan foto yang beredar luas di media sosial dan grup-grup WhatsApp warga Halmahera Selatan, mereka tampak duduk di kursi-kursi barisan depan, seolah memiliki kedudukan formal dalam struktur pemerintahan.
Tujuh nama yang disebut-sebut dalam rekaman kamera itu antara lain: Husni Saban, Sadam Hadi, Risman Lamitira, Mursal, Samsul Bahri, Alif Budiman, dan Samsudin. Ketujuh orang ini dikenal publik bukan sebagai pejabat daerah, melainkan figur-figur yang dulunya aktif sebagai tim pemenangan saat Pilkada lalu. Namun setelah kemenangan diraih, mereka tak lantas kembali ke aktivitas masing-masing. Justru, menurut banyak pihak, mereka semakin aktif "bermain" di balik layar.
“Mereka ini bukan siapa-siapa di struktur resmi, tapi nyaris semua kebijakan strategis, mutasi pegawai, proyek pekerjaan, bahkan distribusi jabatan kepala sekolah dan kepala desa pun, katanya harus lewat persetujuan mereka,” ujar salah satu ASN yang enggan disebutkan namanya.
Praktik semacam ini dituding menjadi penyebab utama rusaknya sistem birokrasi di Halmahera Selatan. Pegawai yang loyal dan berprestasi disingkirkan karena tak dekat dengan para "naga". Sebaliknya, orang-orang yang rela merogoh kocek atau memberi loyalitas politik pada kelompok ini justru bisa melenggang mulus naik jabatan.
“Kita ini bukan lagi kerja untuk rakyat, tapi kerja untuk menyenangkan sembilan kepala naga,” lanjut ASN itu dengan nada kesal.
Banyak pihak menilai, para “naga” ini memanfaatkan kedekatan emosional dan politik dengan pimpinan daerah, terutama dengan Bupati dan Wakil Bupati. Mereka berkedok sebagai penasihat atau penghubung antara masyarakat dan penguasa, padahal fungsi utama mereka justru merusak sistem dari dalam.
Salah satu tokoh pemuda Bacan, Rizky Usman, menyayangkan lemahnya sikap kepala daerah terhadap keberadaan para aktor informal ini. “Kalau dibiarkan, maka Halmahera Selatan akan dipimpin oleh orang-orang di luar sistem yang tak punya tanggung jawab publik, tapi kuasanya lebih besar dari kepala dinas. Ini berbahaya,” tegasnya.
Ironisnya, ketika masyarakat mulai bersuara lantang dan mempertanyakan keberadaan mereka, justru tak ada klarifikasi resmi dari pihak pemerintah. Keheningan ini malah menguatkan dugaan bahwa para “naga” memang sengaja dibiarkan berkeliaran, karena dianggap bagian dari "balas jasa" politik.
Sebagian masyarakat bahkan mulai menyindir bahwa Halmahera Selatan bukan lagi dipimpin oleh satu Bupati dan satu Wakil Bupati, melainkan oleh “Sembilan Penguasa Bayangan” yang tak punya SK tapi punya kuasa lebih dari pejabat eselon dua.
“Kami butuh pemimpin yang tegas, bukan boneka politik yang dikendalikan oleh tim sukses yang belum move on dari euforia Pilkada,” kata Nurhaliza, aktivis perempuan di Kayoa.
Kini, bola panas ada di tangan Bupati Bassam Kasuba dan Wakilnya, Helmi Umar Mukhsin. Apakah mereka akan membersihkan lingkaran kekuasaan dari para pemain belakang layar, atau justru terus membiarkan birokrasi dicemari oleh kepentingan pribadi dan kelompok?
Waktu akan menjawab. Tapi satu hal yang pasti, rakyat Halmahera Selatan sudah mulai sadar, bahwa yang merusak negeri ini bukan cuma koruptor berseragam, tapi juga para "naga" berkedok loyalis. Jika tak segera ditindak, maka Halmahera Selatan bukan hanya kehilangan wibawa birokrasi, tapi juga masa depan yang lebih baik.