![]() |
| Sekuriti Yang Berjaga Lebih banyak Dari PENDEMO |
Kawasi, JurnalHalsel.com - Aksi demonstrasi yang dilakukan sekelompok orang mengatasnamakan Barisan Rakyat Halmahera Selatan (BARAH) dan Asosiasi Laut dan Darat (ASLAT) di Kawasi, Senin (6/10/2025), menuai sorotan tajam. Pasalnya, aksi yang menuding PT Harita Nickel sarat kepentingan kelompok, ternyata diduga kuat bukan representasi suara masyarakat, melainkan digerakkan oleh kepentingan pribadi oknum tertentu.
Dalam surat pemberitahuan kepada Polres Halmahera Selatan, massa aksi disebutkan berjumlah seribu orang. Namun kenyataannya, di lapangan hanya sekitar 20 orang yang hadir, sebagian besar bukan warga setempat. Hasil penelusuran jurnalis JurnalHalsel.com mengungkap bahwa aksi tersebut disponsori oleh Yeheskel Siar, Ketua ASLAT Kawasi. Tujuannya diduga untuk melancarkan bisnis pribadinya yang tertunda selama ini.
“Yang ikut itu sebagian orang-orang yang tahu aturan, tapi diam saja. Entah ada perjanjian apa di balik aksi itu, hanya mereka yang tahu,” ungkap salah satu sumber di lapangan.
Aksi yang menuding CSR Harita Nickel membawa “kepentingan masyarakat” juga menuntut empat poin utama: pembangunan pelabuhan speedboat Kawasi, pembagian kuota penumpang karyawan cuti, kejelasan status pelabuhan Kawasi dan Ecovillage, serta pemberdayaan masyarakat penerima manfaat DBH Kawasi. Namun, sebagian tuntutan tersebut justru tidak sesuai dengan regulasi dan kewenangan yang berlaku.
Menanggapi tuntutan pembangunan pelabuhan speedboat, sumber dari instansi terkait menjelaskan bahwa pembangunan pelabuhan merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan perusahaan. Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan PP Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, perencanaan dan pembangunan pelabuhan berada di bawah kewenangan Kementerian Perhubungan, bukan sektor tambang.
“Perusahaan tambang tidak memiliki kepentingan langsung dengan pelabuhan. Tanggung jawab pembangunan ada pada pemerintah. Peran perusahaan hanya sebatas dukungan sosial melalui program CSR,” tegas sumber tersebut.
Terkait desakan agar CSR Harita Nickel membagi kuota penumpang speedboat karyawan cuti, temuan di lapangan menunjukkan bahwa desakan itu diduga untuk membuka ruang usaha pribadi bagi Yeheskel Siar. Begitu pula dengan tuntutan kejelasan kepemilikan pelabuhan, yang seharusnya ditujukan ke pemerintah daerah dan desa, bukan kepada pihak perusahaan.
Sementara soal pembagian manfaat DBH Kawasi, sumber desa menyebut bahwa skema sudah jelas—dibagi untuk empat kelompok masyarakat yang berperan sebagai suplier lokal. Namun, muncul kelompok baru yang ingin mendapatkan “jatah” dengan cara menekan lewat aksi demonstrasi.
Lebih ironis lagi, kelompok BARAH disebut siap “turun aksi” kapan saja asal ada dana. Seorang warga Kawasi yang enggan disebut namanya mengungkapkan fakta mencengangkan.
“Hee ma, Heskel itu dia ba cari proyek, kong dia bawa orang kamari la dong demo tarada. Me itu yang demo thu dia pe motoris deng orang-orang yang di bayar kong, foya sasarja,” ujar warga tersebut dengan nada kesal.
Aksi ini akhirnya menimbulkan persepsi negatif di tengah masyarakat Kawasi. Alih-alih memperjuangkan kepentingan publik, gerakan yang mengatasnamakan rakyat justru dicurigai sebagai upaya untuk memuluskan kepentingan pribadi di balik bendera “pemberdayaan masyarakat”.
(“Kalau mau bicara kepentingan rakyat, jangan jadikan rakyat alat untuk cari proyek,” tutup salah satu tokoh masyarakat Kawasi dengan nada tegas.)
IKI

